Pembangunan Politik Berdasarkan Teori Modernisasi
Teori modernisasi lahir sebagai peristiwa
penting dunia setelah Perang Dunia Kedua. Pertama, setelah munculnya
Amerika Serikat sebagai negara adikuasa dunia. Pada tahun 1950-an Amerika
Serikat menjadi pemimpin dunia sejak pelaksanaan Marshall Plan yang
diperlukan membangun kembali Eropa Barat setelah Perang Dunia Kedua. Kedua, pada
saat yang sama terjadi perluasan komunisme di seantero jagad. Uni Soviet
memperluas pengaruh politiknya sampai di Eropa Timur dan Asia, antara lain di
Cina dan Korea. Hal ini mendorong Amerika Serikat untuk berusaha memperluas
pengaruh politiknya selain Eropa Barat, sebagai salah satu usaha membendung
penyuburan ideologi komunisme. Ketiga, lahirnya negara-negara baru di
Asia, Afrika, dan Amerika Latin, yang sebelumnya merupakan wilayah koloni
negara-negara Eropa dan Amerika. Negara-negara tersebut mencari model-model
pembangunan yang bisa digunakan sebagai contoh untuk membangun ekonominya dan
mencapai kemerdekaan politiknya. Dalam situasi dunia seperti ini bisa dipahami jika
elit politik Amerika Serikat memberikan dorongan dan fasilitas bagi ilmuwan
untuk mempelajari permasalahan Dunia Ketiga. Kebijakan ini diperlukan sebagai
langkah awal untuk membantu membangun ekonomi dan kestabilan politik Dunia
Ketiga, seraya untuk menghindari kemungkinan jatuhnya negara baru tersebut ke
pangkuan Uni Soviet.
Sebelum Perang Dunia Kedua, persoalan
pembangunan negara Dunia Ketiga tidak begitu mendapat perhatian para ilmuwan
Amerika Serikat. Akan tetapi, setelah Perang Dunia Kedua, keadaan yang
sebaliknya terjadi. Dengan bantuan melimpah dari Amerika Serikat dan organisasi
swasta, satu generasi baru ilmuwan politik, ekonomi, dan para ahli sosiologi,
psikologi, antropologi, serta ahli kependudukan menghasilkan karya-karya
disertasi dan monograf tentang Dunia Ketiga. Satu aliran pemikiran
antardisiplin yang tergabung dalam ajaran modernisasi sedang terbentuk pada
tahun 1950-an tersebut. Karya kajian teori modernisasi merupakan industri yang
tumbuh segar sampai pertengahan 1960-an.
Secara epistemologis, teori modernisasi
adalah campuran antara pemikiran fungsionalisme struktural dengan pemikiran
behaviorisme kultural Parsonian. Para pendukungnya
memandang bahwa masyarakat bakal berubah secara linier, yaitu perubahan yang
selaras, serasi dan seimbang dari unsur masyarakat paling kecil sampai ke
perubahan masyarakat keseluruhan; dari tradisisonal menuju modern. Pandangan
teori modernisasi semacam itu diilhami oleh pengalaman sejarah Revolusi
Industri di Inggris yang dianggap sebagai titik awal pertumbuhan ekonomi
kapitalis modern dan Revolusi Perancis sebagai titik awal pertumbuhan sistem
politik modern dan demokratis.
TEORI MODERNISASI
Dalam konteks ilmu politik, pemberdayaan
politik bisa dilacak dari konsep pembangunan politik yang mulai dikembangkan
sejak akhir dekade 1950-an. Setidaknya ada dua peristiwa besar yang mendorong
munculnya studi pembangunan politik. Pertama, lahirnya negara-negara
baru Dunia Ketiga pasca Perang Dunia II terutama di Asia, Afrika, dan Amerika
Selatan, yang tentu saja menjadi tantangan baru bagi ilmuwan untuk melakukan
kajian politik di wilayah itu, misalnya mengkaji tentang perubahan politik atau
penerapan sistem politik beserta infrastruktur yang menopangnya. Kedua,
berkembangnya studi area dan revolusi behavioralisme dalam ilmu politik, yang
ditandai dengan upaya serius para ilmuwan politik untuk mengkombinasikan
kecermatan teoretik dan metodologi untuk melakukan penelitian empirik
lintas-nasional yang bisa menghasilkan generalisasi universal dan komparatif.
Konon Komite Perbandingan Politik pada Badan
Penelitian Ilmu-ilmu Sosial menggelar konferensi dan publikasi yang didesain
untuk membawa pengetahuan dan pengalaman baru tentang pola dan problem
pembangunan (politik). Perencanaan proyek besar ini menumbuhkan sebuah keyakinan
bahwa pembangunan di wilayah Dunia Ketiga tidak bisa diselesaikan hanya dengan
campuran kebijakan ekonomi, tetapi juga dengan kemampuan lembaga-lembaga
politik untuk memobilisasi dan meningkatkan sumberdaya manusia dan alam.
Variabel-variabel politik dipandang sama pentingnya dengan variabel ekonomi;
dan bahkan ditegaskan bahwa pembangunan ekonomi tidak mungkin bisa berjalan
tanpa pembangunan politik.
Hasil konferensi besar itu disambut dengan
semangat oleh para komparativis untuk menggelar kajian-kajian pembangunan
politik. Tetapi, seperti halnya perdebatan di arena pembangunan ekonomi, para
ilmuwan komparatif politik pun punya cara pandang yang berbeda-beda atas
pembangunan politik, meski mereka tidak keluar dari payung teori modernisasi.
Problem pertama yang dihadapi adalah bagaimana mendefinisikan pembangunan
politik. Sejauh karya-karya yang bertebaran menunjukkan bahwa definisi
pembangunan politik sangat terfragmentasi, antara lain karena istilah
“pembangunan politik” punya makna positif sehingga para ilmuwan politik
cenderung menerapkannya pada
hal-hal yang mereka anggap penting dan diperlukan. Logikanya, pemanfaatkan
istilah pembangunan politik tidak perlu menyimpan kepentingan atau
fungsi-fungsi yang bermanfaat, sehingga orang tidak punya perasaan bahwa
pembangunan politik adalah sebuah konsep yang berlebihan. Bagi ilmuwan politik,
konsep pembangunan politik lebih memberi fungsi legitimasi di masyarakat
ketimbang memberi fungsi analitis.
Selain itu karena pembangunan politik
merupakan aspek-aspek modernisasi, ia menjadi sebuah gagasan maupun proses yang
luas dan kompleks, sehingga muncul keyakinan awal bahwa pembangunan politik
harus dimaknai dan diukur dengan banyak kriteria yang banyak (bervariasi).
Lucian Pye misalnya, tidak tanggung-tanggung membuat sepuluh kriteria untuk
mendefinisikan pembangunan politik (PP), yakni: PP sebagai prsayarat politik
bagi pembangunan ekonomi; PP sebagai ciri khas kehidupan politik masyarakat
industri; PP sebagai modernisasi politik; PP sebagai operasi negara-bangsa; PP
sebagai pembangunan administrasi dan hukum; PP sebagai mobilisasi dan
partisipasi massa; PP sebagai pembinaan demokrasi; PP sebagai stabilitas dan
perubahan yang teratur; PP sebagai mobilisasi dan kekuasaan; dan PP sebagai
satu segi proses perubahan sosial yang multidimensional.
Coleman mengatakan bahwa pembangunan politik
menunjuk pada proses diferensiasi struktur politik dan sekulariasi budaya
politik yang mengarah pada etos keadilan; dengan bertujuan akhir pada penguatan
kapasitas sistem politik. Pertama, diferensiasi politik dapat dikatakan
sebagai salah satu kecenderungan dominan sejarah perkembangan sistem politik
modern. Kedua, prinsip kesamaan dan keadilan merupakan etos masyarakat
modern. Baginya, modernisasi politik, tidak lain diartikan sebagai usaha untuk
merealisir prinsip keadilan distribusi khususnya dalam bidang ekonomi. Ketiga,
usaha pembangunan politik yang berkeadilan akan membawa akibat pada
perkembangan kapasitas sistem politik. Menurut pandangan ini modernisasi harus
dilihat sebagai usaha progresif penguatan kapasitas sistem politik.
Perdebatan awal tentang makna dan kriteria
memang mengalami divergensi yang meluas, tetapi para ilmuwan tetap bekerja di
bawah payung teori modernisasi. Mereka tetap punya ortodoksi kuat bahwa
modernisasi merupakan penggerak sejarah yang akan mengantarkan masyarakat ke
dalam sistem ekonomi-politik modern seperti di Eropa Barat dan Amerika Utara,
yakni kapitalisme dan demokrasi. Sebaliknya, rezim otoritarian dianggap pemikir
modernisasi sebagai sisa kekuasaan tradisional yang belum hilang: gaya
patrimonial, kekeluargaan, absolut, sewenang-wenang, dan korupsi. Modernisasi
dan kohesi sosial perlahan terwujud seiring dengan berkembangnya pertumbuhan
ekonomi dan demokrasi liberal. Konflik politik yang
dilihat adalah persengketaan antar individu, antar pelaku politik, karena
mengemban nilai yang beda: antara golongan yang dirasuki semangat modernisasi
termasuk kelas menengah, dengan kaum elit lama yang berusaha mempertahankan
tradisi.
Teori modernisasi mulai mengalami kemunduran di tahun 1970-an.
Pertama karena gagalnya program modernisasi PBB melalui Economic Comission
for Latin America (ECLA) di negara-negara Amerika Latin. Program itu
dikritik sebagai penyebab ketergantungan dan keterbelakangan di wilayah negara-negara
Amerika Latin. Kedua karena munculnya rezim-rezim otoritarianisme yang
menyertai pematangan kapitalisme di negara-negara yang terlambat melancarkan
industrialisasi.
Kemunduran teori modernisasi kemudian direspons oleh hadirnya
teori-teori baru dari dependensi, menyusul teori yang berpusat pada negara dan
teori demokratisasi kontemporer. Ketiga teori ini terlampau jauh meninggalkan
konsep pembangunan politik dan “ide-ide kemajuan” teori modernisasi yang
digantikannya dengan kajian-kajian tentang perubahan politik. Dengan kata lain,
teori-teori tersebut muncul hanya sebagai respons atas perubahan politik yang
terjadi tanpa mendesain kerangka preskripsi seperti dilakukan oleh teori
modernisasi. Tetapi, ketiganya tetap saja gagal mengantisipasi (memprediksikan)
perubahan politik yang terjadi kemudian setelah setiap teori mengalami
kejayaan. Teori dependensi misalnya, telah mengalami kemunduran yang terpuruk
setelah ia berhadapan dengan beberapa fakta: ketergantungan Dunia Ketiga pada
negara-negara Barat ternyata tidak terjadi sepenuhnya; tampilnya negara-negara
kuat dan relatif otonom di hadapan rakyat dan kekuatan kapitalis internasional
serta gelombang demokratisasi yang melanda di belahan dunia. Demikian juga
dengan teori demokratisasi mutakhir yang begitu sibuk menjelaskan proses
transisi tanpa memprediksikan efek-efek kemunduran (paradoks) yang mengikuti
demokratisasi semacam konflik dan disintegrasi.
Sepanjang dekade 1970-an hingga 1980-an,
perhatian ilmu politik terkuras pada meluasnya otoritarianisme atau tampilnya
negara-negara kuat di belahan dunia. Di balik wacana pembangunan, teoritisi
dependensi adalah yang pertama kali menantang inti persoalan
otoritarianisme Dunia Ketiga periode kontemporer. Kritik mereka tersusun dalam
suatu bangunan teoritik yang sistematis, dan tegas menyatakan bahwa demokrasi
liberal yang diimpi banyak orang itu cuma khusus terjadi di tahap awal
kapitalisme, abad 18-19 di Eropa Barat. Sedangkan di Dunia Ketiga,
kapitalismenya bersifat tergantung yang mendukung berkembangnya
otoritarianisme.
Karena tugas utamanya mengakumulasi modal,
kelas borjuis Eropa telah menjadi penghancur negara feodal, absolut, yang
menggantungkan kekuasaannya pada hak patrimonial, hak-hak istimewa absolut dan
monopoli dan kemudian menggiring tenaga kerja dan alat produksi termasuk tanah,
bekerja di bawah hukum pasar. Untuk tujuan ini maka harus ada suprastruktur
politik yang secara hukum menyetujui bahkan menjamin kehendak individual secara
sama untuk memiliki sendiri harta miliknya (tak diupetikan) dan untuk masuk ke
jalinan hubungan kerja bersifat kontraktual.
Sintesa revolusi industri ini diwarnai oleh
kondisi historis saat itu yang memang mendukung hak dan kebebasan politik sipil
untuk bisa memperluas pengaruhnya ke segala bagian masyarakat. Tapi sintesa
macam begini cuma bisa disajikan di awal tahap kapitalisme, tahap kapitalisme
kompetisi. Sesudah revolusi kapitalis menghabisi kekuasaan feodal dan absolut,
sesudah semua fase awal tersebut, ternyata daya desak borjuis yang hidup di
tahap kapitalisme berikutnya terbukti amat lemah untuk bisa mewujudkan satu
bentuk kekuasaan demokrasi borjuis, sebab: "...suprastruktur borjuis dari
metropolitan tak perlu terus menguntit kemanapun modalnya bergerak mengelilingi
dan menguasai dunia".
Di lain pihak borjuis Dunia Ketiga ternyata
berstatus komprador dan hanya merupakan perpanjangan tangan borjuis
metropolitan, sehingga tak mungkin mengharapkan mereka mendobrak jalannya
sejarah, melakukan revolusi borjuis: menghancurkan oligarki kepemilikan tanah
lama, atau berusaha mendominasi persekutuan politik antara negara, borjuis,
pekerja dan kaum oligarkis yang terbentuk, seperti karakter kekuasaan populis
di Amerika Latin tahun 1950-1960-an. Sebaliknya ketika persengketaan makin
panas, keutuhan aliansi terancam, sedang balasan sengit revolusi rakyat bisa
sewaktu-waktu datang, yang menciutkan nyali borjuis tersebut, kaum ini kemudian
memasrahkan segalanya pada keputusan militer. Situasi seperti ini akan
mengingatkan kita pada sejarah Bonapartisme. Tapi dari kacamata teoritisi
dependensi keadaan di atas berbeda dengan Bonapartisme. Yang sekarang, lemahnya
posisi borjuis dan kuatnya basis militer berlangsung lebih permanen. Maka
berkembanglah bentuk kekuasaan baru yang oleh Boron dinamakan "Negara
Darurat" baru dan oleh O'Donnell disebut kekuasaan "Otoritarianisme
Birokratik". Menurut O’Donell, negara
yang punya label otoritarianisme-birokratik, perangkat negara telah didominasi
oleh pejabat-pejabat militer, dan birokrasi membengkak; fungsi partai-partai
politik, ormas dan lembaga-lembaga politik lainnya juga sudah dirombak. Jika
dulu lembaga-lembaga politik tersebut adalah jalurnya rakyat beraspirasi dan
berpartisipasi dalam politik, maka sekarang sebaliknya, lembaga-lembaga itu
sudah jadi alat kontrol korporatis negara atas rakyat; kehidupan politik rakyat
sudah didepolitisasi. Akhirnya segala persoalan sosial politik rakyat paling
mendesak di negeri ini, telah diredusir, diredam dan bahkan berusaha dialihkan
dengan menganggapnya karena kualitas pengetahuan, teknik dan keterampilan
rakyat yang rendah, dan hal ini cuma bisa dipecahkan "secara bijak"
oleh pejabat dan kaum teknokrat.
Apa yang dihasilkan oleh Boron dan O’Donnel
kemudian disambut dengan penuh semangat dalam perdebatan tentang perubahan
politik di kawasan Dunia Ketiga. Philipe Schmitter misalnya, menyambutnya
dengan menampilkan model baru yang disebut korporatisme negara. Korporatisme
negara didefinisikan oleh Schmitter sebagai suatu sistem perwakilan kepentingan
dimana unit-unit yang membentuknya diatur dalam organisasi-organisasi yang
jumlahnya terbatas dan bersifat tunggal, mewajibkan (keanggotaan), tidak saling
bersaing, diatur secara hirarkhis, yang diakui atau diberi izin (kalau tidak
diciptakan sendiri) oleh negara dan diberi hak monopoli untuk mewakili
kepentingan dalam bidangnya masing-masing sebagai imbalan atas kesediaan
mematuhi pengendalian-pengendalian tertentu dalam pemilihan pimpinan mereka dan
dalam artikulasi tuntutan dan dukungan.
Korporatisme negara muncul bermula dari
kesadaran betapa hampir semua negara Dunia Ketiga dihadapkan pada pilihan yang
rumit: jalan memenuhi tuntutan-tuntutan dunia kapitalis yang berarti
memaksimalkan liberalisasi dan persaingan serta pemaksimalan kepentingan
pribadi demi tercapainya efisiensi dan perekonomian yang kompetitif. Dan di
sisi lain adalah jalan yang mementingkan rakyat banyak yang mengandung tuntutan
untuk memaksimalkan kontrol ekonomi dengan perencanaan negara untuk mencapai
masyarakat politik yang terintegrasi dengan menghilangkan otonomi kelompok-kelompok
yang ada. Banyak negara Dunia Ketiga yang mencoba menolak
dua pilihan ekstrim ini dan secara longgar mengambil unsur-unsur yang
diinginkan dari kedua pilihan ini dengan rasionalisasi, pembenaran, dan
pengesahan ideologi korporatisme. Negara dan masyarakat dianggap sebagai satu
keluarga, dimana negara bertindak sebagai kepala keluarga. Negara dengan
demikian terus-menerus ditekan untuk memberikan bentuk-bentuk legitimasi
ideologi untuk mengatur dan mengharmoniskan seluruh kepentingan politik dan
ekonomi.
Beberapa teoritisi dekade 1970-an melihat
bahwa negara darurat baru atau negara otoritarian birokratik atau negara
korporatis itu muncul karena bisa menyelesaikan krisis ekonomi akibat makin
lemahnya kemampuan strategi industrialisasi impor dalam mengem-bangkan
kapitalisme industri. Bagi Boron dan Donnell, melemahnya strategi di atas
membuat kapitalisme harus diperbaharui strukturnya. Hal ini menuntut pendalaman
industrialisasi dan pelaksanaan strategi industri yang berorientasi ekspor. Konsekuensinya,
modal pasti ditransnasionalisasi dan penghapusan nasionalisasi modal domestik,
hutang luar negeri melonjak, pendapatan nasional memusat di segelintir orang,
kontrol dan eksploitasi terhadap pekerja makin intensif. Proyek begini ini
hanya bisa sukses kalau dikendalikan oleh suatu rezim yang otoritarian. Jadi
menurut mereka, bentuk otoritarianisme yang baru adalah akibat makin leburnya
Dunia Ketiga dalam jaringan pembagian kerja internasional baru. Boron malah
lebih jauh, bahwa krisis kapitalisme kontemporer itu tak hanya terjadi di
periferi, tapi juga di ekonomi industri maju. Negara industri ini juga makin
membutuhkan kehadiran kekuasaan yang otoritarian, supaya tingkat keuntungan
bisa dipertahankan.
Kajian struktural atas dependensi dan
otoritarianisme-korporatisme tampaknya membawa dua implikasi sekaligus. Pertama,
muncul ortodoksi baru yang berlawanan dengan teori modernisasi, bahwa
otoritarianisme politik sebenarnya tidak bertentangan (kontradiksi) dengan
masyarakat dan kebudayaan kapitalis modern. Sebaliknya ortodoksi baru itu
mengatakan bahwa tipe otoritarianisme tertentu, yang dominan sosoknya di
Amerika Latin dan Asia itu, menyatu dengan proses modernisasi sosial ekonomi.
Dalam kepustakaan pertumbuhan-dan-politik Asia Timur umumnya sampai pada
kesimpulan bahwa demokrasi tidak cocok dengan perkembangan ekonomi yang pesat,
terutama dari jenis industrialisasi pimpinan ekspor. Robert G. Wade, sebagai
contoh, mengajukan argumen, terutama dengan data dari Taiwan, bahwa penyebab
utama prestasi pembangunan Asia Timur adalah tampilnya negara intervensionis
atau aktivis bukannya negara polisi-pasif. Suatu negara intervensionis pasti
otoriter-korporatis.
Stephan Haggard, dalam karyanya yang banyak
dikutip, Pathways from the Periphery, secara
eksplisit menyimpulkan bahwa otoriterisme bukanlah prasyarat keberhasilan
pertumbuhan pimpinan ekspor. Tetapi argumentasi substantifnya didasarkan pada
kasus-kasus Korea, Taiwan, Singapura, dan Hongkong, dengan memberi bobot yang
besar pada "isolasi" negara dari tekanan-tekanan masyarakat. Isolasi
sebenarnya tidak ada bedanya dengan otoritarianisme maupun dirigisme, yang
berarti bahwa negara punya otonomi relatif dan kebal dari pengaruh
kekuatan-kekuatan di luarnya.
Di sisi lain, prestasi ekonomi luar biasa di
Amerika Latin dan Asia Timur dan ortodoksi pada otoritarianisme sebagai
penyokong prestasi itu, dengan sendirinya menjadi titik awal kemunduran teori
dependensi. Generalisasi teori dependensi terhadap bahaya ketergantungan,
misalnya, ternyata kehilangan pengaruh ketika dihadapkan pada keberhasilan
pembangunan ekonomi yang terjadi di kawasan Amerika Latin dan Asia Timur. Dari
segi teoretis, tampilnya negara-negara otoritarian-korporatis menandakan bahwa
negara-negara pinggiran Dunia Ketiga sebenarnya punya otonomi relatif yang
bukan sekadar sebagai “komite administratif” yang tunduk pada modal asing dari
negara-negara metropolis.
Kedua, kajian tentang otoritarianisme-korporatisme serta kemunduran
pengaruh teori dependensi di atas ternyata mendorong gairah baru para ilmuwan
untuk mengembalikan “negara” sebagai pusat analisis utama, yang sebelumnya
diabaikan karena para ilmuwan sangat terpesona pada behavioralisme, teori
sistem, struktural fungsional dan pluralisme yang berpusat pada masyarakat.
Kembalinya teori yang berpusat pada negara diawali kritik teoretis pada
teori-teori sebelumnya yang hanya menempatkan negara sebagai mediator yang
pasif di antara kelompok-kelompok pluralis dalam masyarakat, dan menganggap
negara hanya sebagai panitia kecil yang mengabdi pada kepentingan kelas yang
berkuasa. Sebaliknya para pendukung teori yang berpusat pada negara menempatkan
negara bukan sekadar instrumen kelompok atau kelas, tetapi juga punya otonomi
relatif yang kebal dari pengaruh kelompok-kelompok dan kelas di luarnya. Negara
tidak lagi bisa dilihat sebagai administrator proses penghisapan surplus,
tetapi sebagai suatu komponen terpadu dalam formasi dan konflik kelas serta
menjadi bagian dari transformasi bentuk serta hubungan-hubungan produksi.
Kembalinya teori yang berpusat pada negara
pada dekade 1980-an berusaha menggeluti masalah hubungan antara rezim, negara
dan kapitalisme. Para pendukungnya mencoba menelusuri kembali konflik antara
kekuatan sosial yang berjuang sendiri dengan kekuatan sosial yang melakukan
praktek persekongkolan, serta berusaha mencari kekuatan apa yang membangun
negara. Buat mereka perjuangan kepentingan yang berlangsung di balik proses
pembuatan kebijakan, jauh lebih penting untuk dilacak, ketimbang apa yang
selama ini dipersoalkan oleh pendekatan perbandingan politik. Sebab, sebenarnya
konflik karena perbedaan kepentingan sosiallah yang serius terjadi.
Teori-teori negara ini berasal dari ilmuwan
yang berpayung di bawah tradisi Marxis maupun neo-Weberian, seperti Peter Evan,
Skocpol, Block dan Trimberger. Di Indonesia,
kajian-kajian yang berpusat pada negara juga bertebaran yang terlihat pada
karya-karya ilmuwan berhaluan strukturalis seperti Richard Robison, Arief
Budiman, Mohtar Mas’oed dan sebagainya. Para
ilmuwan pendukung pendekatan yang berpusat pada negara umumnya mengatakan bahwa
negara (atau kesatuan pegawai-pegawainya) sebagai kesatuan yang otonom, punya
kepentingan-kepentingan yang sifatnya koheren dan bisa dirasakan kehadirannya
(tak tersembunyi). Bahkan negara mampu memperjuangkan kepentingannya sendiri
melampaui kepentingan jangka pendek dan jangka panjang kekuatan sosial yang
dominan di masyarakat.
Kalau kita lihat Marxisme klasik,
teori-teorinya cenderung melihat rezim otoritarian muncul dalam masyarakat yang
masih di tahap pra-kapitalis, sedang demokrasi berkembang di masyarakat yang
sudah kapitalis, dimana borjuis punya pengaruh kuat. Sama dengan Weber,
pemikiran ini bersumber pada cara pandang yang orientalis.
Kita lihat misalnya konsep Marx sendiri
tentang mode produksi Asiatic. Dalam konsep ini, absolutisme suatu rezim karena
kaum birokrat mendominasi segalanya atas nama negara. Jadi negara bukan
dikuasai kelas tuan tanah dan kelompok kuat lain di masyarakat, tapi
sebaliknya. Di sini lembaga pemilikan pribadi lemah. Rupa-rupanya
teoritisi Weberian maupun Marxis punya kesimpulan yang sama tentang arti
penting kapitalisme, bahwa munculnya demokrasi liberal borjuis adalah suatu
reaksi alamiah dan disitulah sejarah
politik dan sosial Eropa Barat terbentang. Hancurnya absolutisme kerajaan tak
pelak segayung bersambut dengan munculnya kekuasaan sosial borjuis, meluasnya
pasar, pemilikan pribadi dan kebebasan individual.
Marx sebenarnya pernah mengakui bahwa rezim
otoritarian bisa saja muncul di tengah masyarakat kapitalis, terutama dalam analisisnya
tentang Bonapartisme. Kasus rezim Louis Bonaparte ini menggambarkan bagaimana
kekuatan politik rakyat mengancam hegemoni politik borjuis, sehingga borjuis
terpaksa berpaling ke militer. Borjuis bersedia mengorbankan rezim (parlemen
borjuis) demi selamatnya negara: secara utuh, maka kekuatan politiknyalah yang
musti dihancurkan ... supaya harta karunnya selamat, maka tahta kerajaan harus
dikorbankan."
Di jalur berpikir di atas, terbangunlah kerangka analisis ortodoks
di kalangan teoritisi negara. Anggapan umum kaum ortodoks, kalau ekonomi
kapitalis matang berarti dominasi kelas borjuis menguat, dan sifat
penguasaannya makin kompleks. Sehingga kelas borjuis perlu situasi politik
ekonomi yang lebih otonom. Kedua, struktur perantaraan politik tak akan bisa
dilaksanakan kalau rezimnya otoritarian, hirarkhis dan eksklusif. Tapi
sebenarnya pokok perdebatan di antara teoritisi negara bukanlah soal asumsi di
atas, tapi apakah kapitalisme Dunia Ketiga akan matang atau tidak.
Yang jauh lebih penting, kembalinya teori
yang berpusat pada negara ternyata tidak mampu menggeser pendekatan teoretis
sebelumnya yang sudah lama mapan dalam ilmu politik. Tampilnya kembali
teori-teori negara sebenarnya hanya mencerminkan perdebatan antara kulturalis
versus strukturalis, terutama kelesuan pendekatan kulturalis dalam menjelaskan
perubahan ekonomi-politik global, terutama tumbuhnya otoritarianisme,
pematangan kapitalisme di Dunia Ketiga, yang kemudian disusul dengan gelombang
demokratisasi pada skala global.
Pelajaran apa yang bisa diambil dari
pengalaman sepanjang dekade 1970-an dan 1980-an? Para ilmuwan politik tampaknya
lebih sibuk mengembangkan teori-teori eksplanatif untuk menjelaskan berbagai
bentuk perubahan politik yang mengarah pada penguatan negara yang mengiringi
pendalaman kapitalisme terutama di Dunia Ketiga. Pada dekade ini tampaknya
teori-teori preskriptif seperti pembangunan politik pada dekade 1960-an tidak
mengalami perkembangan yang berarti. Demikian juga dengan isu pemberdayaan
politik yang belum tersentuh, meskipun pada level empirik pada tahun-tahun ini
telah terjadi pergolakan dan perjuangan masyarakat sipil untuk memulai
demokratisasi.
Komentar
Posting Komentar